AMPLOP
COKELAT
Brakkk
!!!!!
Suara meja
yang digebrak itu berdengung ditelingaku. Aku mengintip dari balik tirai,
melihat apa yang terjadi diruang tamu dengan perasaan takut setengah mati.
Kulihat dahi papa berkerut, wajahnya memerah dan tegang menahan amarah yang
berkobar di dalam dirinya.
“Kalau Kau
sudah tidak ingin kuanggap anak pergilah dari rumah ini. “ bentak papa dengan
nada tinggi. Sejenak papa menarik nafas kemudian menghembuskannya dengan berat.
Kakakku
Raga hanya menunduk. Tubuhnya gemetar, tangannya mengepal sampai membuat
otot-otot tangannya menyembul. Dengan penuh keberanian kakakku mengengkat
dagunya, menatap papa dengan wajah kaku dan penuh kesedihan.
“Baiklah
kalau ini yang Papa inginkan. “ ucap kakakku dengan suara yang bergetar. “Aku
berterimakasih terlebih dahulu untuk kasih sayang yang sudah Papa berikan. Tapi
maaf Pa, aku dan Papa tidak sejalan. Aku bukan orang yang bisa menghalalkan
segala cara seperti Papa. “, lanjutnya.
“Cepat
pergi !!!”, suruh papa dengan berteriak.
Kakakku
tersenyum, senyum yang sangat menyakitkan.
“Jaga
kesehatan Papa dan jaga baik-baik Atta. “, pesan kak Raga. Ia menyambar tasnya
dan langsung pergi dengan langkah pelan.
“Jangan
pernah kembali ke rumah ini, dan jangan oernah menganggapku orang tuamu lagi.
Satu lagi, jangan pernah mengganggu keluargaku lagi. “,
Kak Raga
menghentikan langkahnya tepat di depan pintu. Ia berhenti sejenak dengan tangan
masih gemetar kemudian melanjutkan langkahnya tanpa menoleh kebelakang lagi.
Tubuhku seketika itu lemas, kakiku tidak kuat menopang beban tubuhku. Aku jatuh
tersungkur di lantai dengan bulir air mata yang membuat pandanganku kabur.
Tanganku
mencengkeram kerah baju yang kupakai. Aku mengerang, aku merasakan sakit yang
teramat dalam. Tapi erangan itu hanya bisa kusuarakan di dalam hati.
***
Kesedihanku,
lukaku, dan lubang yang menganga dengan besar di dalam hatiku sudah berangsur-angsur
pulih meski tidak mungkin bisa seutuhnya pulih. Aku sadar betul dengan
kemampanku, aku sadar betul siapa diriku sebenarnya. Aku bukan seorang dokter
yang bisa menyembuhkan luka dengan memberi berbagai resep obat. Aku hanyalah
seorang perempuan biasa yang akan terus merasa terluka selama orang yang
kuharapkan itu belum kembali. Apa memiliki pendapat dan jalan sendiri yang
berbeda itu salah ? Apa tidak boleh berjalan dengan arah yang berbeda ? Apa hal
itu adalah sebuuah dosa besar ?
“ Saya
harap Bapak bisa membantu mempermudah perizinan lahan baru yang hendak aku gunakan untuk usaha. “, kata
papa kepada seorang pria setengah baya yang menggunakan kaca mata tebal. Papa
menggeser amplop warna cokelat yang tadi ada di depannya ke arah pria itu.
“Akan
saya usahakan . “, balas pria itu sambil melihat ke dalam amplop yang diberikan
oleh papa tadi.
“Dia
anakku Pak Herman, namanya Renatta. Anakku inilah yang nantinya akan mewarisi
perusahaan dan semua asetku jadi aku minta tolong agar Bapak mau membantu
anakku agar semuanya lancar dengan mudah. “, kata papa sambil memandangku,
senyum menghiasi bibir papa.
***
“Berhenti
memaksaku Pa, aku tidak mau melakukan hal itu. “, teriakku dengan keras.
“Apa
susahnya ? kau hanya perlu datang, memberikan uang dan semuanya selesai. “,
balas papa.
“Aku bukan
Papa !!! “, teriakku lagi dengan tangis yang sudah tidak bisa kubendung. Kini
aku merasakan apa yang kak Raga rasakan.
“Papa
menyuruhmu melakukan hal ini agar kau tahu apa yang nantinya harus Kau lakukan.
“, lanjut papa masih dengan nada tinggi. “Jadi sekarang Kau ingin mengikuti
jejak anak itu untuk pergi dari rumah ini? Kau ingin sepertinya ? Tidak
kuanggap anak lagi?”
“Dulu aku
mmang mengerti. Aku tak tahu apa alasan kak Raga pergi dari rumah tapi,
sekarang aku tahu apa alasannya. Kak Raga benar.” Teriakku marah.
“Keluar
dari rumah ini bila Kau tidak mau Papa atur lagi!!!”,tangan papa meremas bantal
sofa dan matanya menatapku tajam.
“Apa Papa
tahu kalau apa yang Papa lakukan itu salah? Menyuap banyak sekali orang agar
mereka melakukan apa yang Papa inginkan. “
“Cari dan
ikut laki-laki itu. Jangan kembali kee rumah ini!”
Dadaku
naik turun menahan amarah , tangis dan perasaan tersiksa yang membaur menjadi
satu membentuk sebuah sensasi yang luar biasa menyakitkan. Kuseka air mata yang
keluar dari kedua mataku, semampuku. Aku berdiri dari sofa dan langsung berlari
kembali ke kamarku untuk mengmbil
barang-barang yang sekiranya bisa kubawa.
Kumasukkan
beberapa potong kaos dan celana ke dalam tas ranselku. Tanganku menyentuh
dinding tembok kamarku. Menghirup dalam-dalam aroma dingin kamar yang selama 21
tahun kutinggali. Ini saat-saat terakhirku berada dalam kamar ini, selanjutnya
tidak akan pernah lagi. Aku sudah diusir, aku bukan lagi menjadi bagian dari
keluarga ini. Keluarga yang sejak 21 tahun lalu hanya berjumlah tiga orang,
kemudian tiga tahun yang lalu hanya menjadi dua orang. Sekarang, hanya tinggal
papa seorang, tidak ada yang lain. Sejujurnya aku tidak ingin meninggalkan papa
tapi, aku sendiri sudah tidak kuat merasakan tekanan yang begitu menyakitkan.
Aku tidak mau menjadi penjahat. Aku sudah benar-benar muak. Aku tidak bisa bertahan lama di sini. Jalan
yang diambil papa berbeda dengan hati nuraniku. Rasanya tidak percaya dan aku
tidak menyangka papa melakukan hal itu. Laki-laki yang kubanggakan membuatku
merasa begitu malu. Terlebih karena dengan tega dan jelas ia mengajariku untuk
menjadi sepertinya.kenapa harus seperti ini. Menganggap sebuah hal hina sebagai
hal yang wajar dan biasa. Jadi, apa
salah kalau orang yang melakukan hal itu disebut sebagai orang hina? Apakah
salah besar?
“Jangan
bawa fasilitas yang kuberikan untukmu. “, papa sudah tidak membahasakan dirinya
dengan sebutan “ Papa” lagi padaku.
“Aku tidak
membawa fasilitas apapun yang Papa berikan untukku.”, balasku.
“Jaga
kesehatan Papa, jangan terlalu banyak pikiran karena hal itu akan membuat
kesehatan Papa menurun.”, pesanku.
Papa diam
tak bergeming, rahangnya mengeras. Tubuhnya masih bergetar senada dengan
tubuhky yang bergetar menahan tangis yang lagi-lagi tumpah. Aku tersenyum tipis
pada papa tetapi, tidak dibalasnya. Ia memalingkan wajahnya dariku seolah sudah
tidak peduli lagi padaku. Semua yang sudah keluar dari mulut papa pantang untuk
ia tarik kembali. Sekali ia mengatakan kalau aku bukan lagi anaknya maka
selamanya akan seperti itu. Sekali papa mengusirku dari rumah maka selamanya
pula aku tidak akan dapat masuk kembali ke rumah itu karena papa tidak akan
mengizinkannya. Dan selama papa masih seperti sekarang, aku tidak akan pernah
mengikuti semua yang ia suruhkan. Mungkin memang harus berakhir seperti ini.
Hubungan darah yang tidak mungkin terputus akhirnya terputus meskipun
menyisakan seutas tali samar yang tidak dapat terliat dengan mata telanjang.
Aku bukan lagi Gael Renatta Rahardi tapi sekarang aku hanyalah sebagai Gael
Renatta. Perempuan yang tunduk pada kemauannya sendiri. Perempuan yang lebih
memilih pergi dari rumah karena tidak sejalan dengan apa yang diinginkan oleh
orangtuanya. Perempuan yang mencoba untuk masuk dan berjalan di jalan yang
benar meskipun begitu menyakitkan dan bisa membuat mati perlahan.
***
Untung aku
masih memiliki kontak seorang teman kak Raga. Jika tidak, mana mungkin aku bisa
berdiri berhadap-hadapan dengan seseorang yang sama sekali tidak berubah
setelah tiga tahun tidak tahu kabarnya dan tidak bertemu dengannya.
“Maafkan
Kakakmu ini.”, ucapnya lirih.
“Maafkan
juga aku yang tidak bisa menjaga Papa.”, balasku dengan terisak.
Tangis
masih menguasaiku dengan sepenuhnya. Pikiranku masih tertuju seutuhnya pada
papa. Aku sama sekali tidak tega pada papa. Ia hidup sendiri tanpa siapapun,
tanpa anak yang selalu ia bangga-banggakan akan menjadi penerusnya nanti.
Penerus yang sengaja ia masukkan ke dalam rute perjalanan gelap dan tanpa
cahaya terang.
“Sekarang
aku mengerti kenapa waktu itu Kakak pergi dari rumah.”, ujarku pelan.
Kak Raga
tersenyum. Ia membelai rambutku pelan kemudian memejamkan matanya sejenak.
“Hal ini
memang menyakitkan Ta, mengetahui orangtua yang kita banggakan adalah seseorang
yang sebenarnya tidak patut dicontoh.”, katanya pelan.
“Sampai
kapanpun Papa akan seperti itu Kak.”, balasku. Kak Raga tersenyum, ia bangkit
dari kursi kayu yang ada di ruang tamu rumah kontrakannya kemudian pergi
meninggalkanku sendirian.
Kehidupan
kakakku begitu sederhana. Berbeda denganku yang hidup dengan serba mewah.
Menikmati uang yang didapatkan dengan cara yang salah. Member uang pelican agar
semua yang diinginkan mudah terlaksana. Tapi, apakah papa pernah berpikir kalau
uang yang ia gunakan untuk kehidupan sehari-hari adalah uang haram, uang yang
didapatkan dengan cara yang tidak halal. Mengapa menjadi orang yang benar itu
sangat sulit? Mengapa zaman sekarang ini menjadi orang yag bersih itu salah?
Mengapa menjadi orang yang berjalan di jalan yang benar itu selau mendapat
cacian, hinaan dan menjadi bahan tertawaan? Seolah-olah orang yang tidak hina
itu merupakan benda mati dengan rupa yang begitu menggelikan sehingga pantas
untuk dijadikan sebagai bahan tertawaan. Dunia memang begitu kejam. Dunia
adalah opera yang dibuat sedemikian rupa. Penuh dengan jebakan dan berbagai
bentuk hal fana yang dapat membuat terlena. Aku tidak bisa mengerti, aku tidak
sanggup untuk memahami. Aku hanya bisa melakukan hal ini, hal yang kuanggap
benar agar aku tidak terlena dan jatuh ke dalam lubang yang sama.
***
“Bangun
Ta,.”, kak Raga mengguncang-guncang tubuhku dengan sedikit kasar.
Mau
tidak mau aku akhirnya aku membuka mataku. Memandang kearah kak Raga dengan
penuh ketidakmengertian. Terlihat sekali dari mimic wajahnya kalau ia tengah
gelisah, memikirkan suatu hal yang mengganjal.
“Ada apa
Kak?”, tanyaku tidak mengerti.
“Cepat
bangun, ganti pakaianmu dan iku Kakak.”, suruh kakakku.
“Memangnya
ada apa Kak?”, tanyaku lagi dengan penasaran.
“Cepatlah!”,
suruhnya dengan nada tinggi. “Nanti Kau akan tahu sebenarnya apa yang terjadi.”,
lanjutnya sambil mendesah frustasi.
Tangan
putihnya menyangga kepalanya yang terlihat begitu berat. Sesekali ia mengerang
frustasi sambil menjambak rambutnya sendiri. Sebenarnya apa yang terjadi, apa
yang membuatnya menjadi seperti itu. Bergegas aku menuju kamar mandi.
Meninggalkannya yang masih duduk sambil menyangga kepalanya dengan tangan. Ada
hal buruk yang terjadi, jika tidak mana mungkin kak Raga sampai seperti itu.
***
“Kenapa
kita ke Kantor Polisi?”, tanyaku bingung.
“Hal buruk
yng Kakak takutkan akhirnya terjadi.”, jawab kakakku menggantung.
“Papa?”,
tanyaku dengan suara parau karena air mata yang sudah mulai turun dari pelupuk
mataku.
“Polisi
menangkap papa saat ia tengah bertransaksi dengan seorang jaksa yang sebenarnya
hanya umpan saja. Papa sudah tidak bisa mengelak lagi. “, jawab kak Raga lirih.
Ia kembali
menyangga kepalanya denga tangan. Dadanya naik turun mengikuti nafasnya yang
tak beraturan. Sesekali ia mengerang, meredam rasa sakit yang teramat sangat.
Aku bisa merasakan apa yang tengah dirasakan oleh kakak.
“Tunggu.”
,kak Raga menahanku yang hendak berlari
masuk ke dalam Kantor Polisi untuk mencari papa. Aku ingin tahu
bagaimana keadaanya, bagaimana keadaan orang yang begitu aku sayangi meski
orang itu telah mengecewakanku dengan tindakannya itu.”, jaga sikapnmu, kita
masuk bersama.
Aku
mengangguk, kuseka air mataku dengan tangan. Kak Raga merangkul pundakku,
menuntunku yang sudah berjalan sempoyongan. Memikirkan bagaimana keadaan papa
di dalam. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana papa sekarang. Tertekan, sedih,
kecewa,menangis. Menangis, aku tidak kuasa melihat papa menangis.
“Keluarga
Bapak Dani Rahardi?”, tanya seorang polisi.
“Iya, kami
anak Bapak Dani Rahardi.”, jawab kakakku.
Polisi itu
menyuruh kami untuk masuk. Aku dan kak Raga berjalan masuk ke dalam ruangan
putih dengan buah meja panjang dan beberapa kursi. Kami berdua duduk dengan
tubuh yang masih berguncang hebat. Rasanya masih sama seperti tadi, tidak
percaya kalau orang yang sekarang tengah meringkuk di dalam penjara adalah
orangtua kami.
“Atta,
Raga.”, sayup-sayup kudengar suara papa memanggil nama kami bedua.
Sontak aku
berdiri dan langsung menghambur ke arah papa. Kupeluk tubuh papa dan langsung
menumpahkan tangisku yang tidak bisa kutahan. Kak Raga membuntutiku dari
belakang. Ia mencium punggung tangan papa kemudian, turut memeluk papa.
Kudengar denga jelas papa terisak. Papa turut menangis, papa turut merasakan
sakit yang kami rasakan bahkan mungkin rasanya lebih sakit dari apa yang kami
rasakan.
“Maafkan
Papa.”, ucah papa lirih.
Aku hanya
bisa menangis didalam pelukannya. Aku tidak bisa berkata apa-apa. Begitupun
dengan kak Raga, tangisnya pecah. Rasa rindunya akan sosok seorang papa selama
bertahun-tahun kini terbayarkan dengan cara yang sangat menyakitkan. Saat papa
berada di dalam kondisi terburuk dan terpuruk. Kuangkat wajahku, kutatap wajah
papa yang meneteskan titik demi titik air mata yang lama kelamaan menjadi
semakin deras. Aku mencoba untuk tersenyum dengan bibir yang bergetar. Memang
harus seperti ini, memang hal inilah yang seharusnya terjadi. Papa tidak akan
pernah sadar dengan kesalahan yang ia lakukan bila ia belum menikmati buah
terpahit yang harus ia telan.
Sepucuk
amplop berwarna cokelat. Begitu mudahnya berpindah tangan dari tangan satu ke
tangan yang lain. Semua bisa diatasi dan dilakukan dengan begitu mudah hanya
dengan amplop yang berisi belati yang dapat menusuk diri sendiri.apa yang
ditanam nantinya akak dipetik buahnya. Apa yang ditebar nantinya harus dipungut
kembali.
Meringkuk
di dalam jeruji besi adalah sebuah akhir yang harus ijalani papa. Sudah sangat
lama papa menikmati hidupnya yang indah yang penuh dengan manipulasi. Rasanya
sakit dan terluka melihat orang tua yang sangat disayangi mendapat hukuman
seperti ini. Tapi, memang harus seperti ini. Satu per satu orang yang melakukan
tindakan seperti yang papa lakukan harus masuk menemani papa di dalam Hotel
Prodeo, menikmati getah karet yang rasanya begitu pahit di dalamnya. Saat esok
kembali menyingsing, tahun berganti dan wajah-wajah lama berubah baru kebiasaan
ini mungkin belum hilang tapi akan berubah menjadi lebih baik bila orang-orang
yang bersalah itu satu per satu diadili. Merasakan takdir terburuk mereka.
Merasakan bagaimana menjadi orang yang ditertawai oleh orang-orang yang
sebelumnya mereka tertawai. Jika, keadilan tidak ditegakkan akan jadi apa
Negara ini kelak nantinya. Dan akan jadi apa bangsanya ini. Hidup dengan amplop
cokelat yang bertebaran dimana-mana. Mencari tuan selanjutnya, agar suatu
persoalan bisa terselesaikannya hanya dengan sekali kedipan mata.
Aku memang
bersedih karena papa. Tapi, papa harus mendapatkan apa yang seharusnya papa
dapatkan. Jika tidak, selamanya akan terus seperti ini. Mendarah daging,
membentuk buntalan daging baru yang kekal daan tidak akan berubah.
TAMAT.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar