Sabtu, 12 Oktober 2013

cerpen



AMPLOP
COKELAT

Brakkk !!!!!
Suara meja yang digebrak itu berdengung ditelingaku. Aku mengintip dari balik tirai, melihat apa yang terjadi diruang tamu dengan perasaan takut setengah mati. Kulihat dahi papa berkerut, wajahnya memerah dan tegang menahan amarah yang berkobar di dalam dirinya.
“Kalau Kau sudah tidak ingin kuanggap anak pergilah dari rumah ini. “ bentak papa dengan nada tinggi. Sejenak papa menarik nafas kemudian menghembuskannya dengan berat.
Kakakku Raga hanya menunduk. Tubuhnya gemetar, tangannya mengepal sampai membuat otot-otot tangannya menyembul. Dengan penuh keberanian kakakku mengengkat dagunya, menatap papa dengan wajah kaku dan penuh kesedihan.
“Baiklah kalau ini yang Papa inginkan. “ ucap kakakku dengan suara yang bergetar. “Aku berterimakasih terlebih dahulu untuk kasih sayang yang sudah Papa berikan. Tapi maaf Pa, aku dan Papa tidak sejalan. Aku bukan orang yang bisa menghalalkan segala cara seperti Papa. “, lanjutnya.
“Cepat pergi !!!”, suruh papa dengan berteriak.
Kakakku tersenyum, senyum yang sangat menyakitkan.
“Jaga kesehatan Papa dan jaga baik-baik Atta. “, pesan kak Raga. Ia menyambar tasnya dan langsung pergi dengan langkah pelan.
“Jangan pernah kembali ke rumah ini, dan jangan oernah menganggapku orang tuamu lagi. Satu lagi, jangan pernah mengganggu keluargaku lagi. “,
Kak Raga menghentikan langkahnya tepat di depan pintu. Ia berhenti sejenak dengan tangan masih gemetar kemudian melanjutkan langkahnya tanpa menoleh kebelakang lagi. Tubuhku seketika itu lemas, kakiku tidak kuat menopang beban tubuhku. Aku jatuh tersungkur di lantai dengan bulir air mata yang membuat pandanganku kabur.
Tanganku mencengkeram kerah baju yang kupakai. Aku mengerang, aku merasakan sakit yang teramat dalam. Tapi erangan itu hanya bisa kusuarakan di dalam hati.
***
Kesedihanku, lukaku, dan lubang yang menganga dengan besar di dalam hatiku sudah berangsur-angsur pulih meski tidak mungkin bisa seutuhnya pulih. Aku sadar betul dengan kemampanku, aku sadar betul siapa diriku sebenarnya. Aku bukan seorang dokter yang bisa menyembuhkan luka dengan memberi berbagai resep obat. Aku hanyalah seorang perempuan biasa yang akan terus merasa terluka selama orang yang kuharapkan itu belum kembali. Apa memiliki pendapat dan jalan sendiri yang berbeda itu salah ? Apa tidak boleh berjalan dengan arah yang berbeda ? Apa hal itu adalah sebuuah dosa besar ?
“ Saya harap Bapak bisa membantu mempermudah perizinan lahan baru  yang hendak aku gunakan untuk usaha. “, kata papa kepada seorang pria setengah baya yang menggunakan kaca mata tebal. Papa menggeser amplop warna cokelat yang tadi ada di depannya ke arah pria itu.
“Akan saya usahakan . “, balas pria itu sambil melihat ke dalam amplop yang diberikan oleh papa tadi.
“Dia anakku Pak Herman, namanya Renatta. Anakku inilah yang nantinya akan mewarisi perusahaan dan semua asetku jadi aku minta tolong agar Bapak mau membantu anakku agar semuanya lancar dengan mudah. “, kata papa sambil memandangku, senyum menghiasi bibir papa.
***
“Berhenti memaksaku Pa, aku tidak mau melakukan hal itu. “, teriakku dengan keras.
“Apa susahnya ? kau hanya perlu datang, memberikan uang dan semuanya selesai. “, balas papa.
“Aku bukan Papa !!! “, teriakku lagi dengan tangis yang sudah tidak bisa kubendung. Kini aku merasakan apa yang kak Raga rasakan.
“Papa menyuruhmu melakukan hal ini agar kau tahu apa yang nantinya harus Kau lakukan. “, lanjut papa masih dengan nada tinggi. “Jadi sekarang Kau ingin mengikuti jejak anak itu untuk pergi dari rumah ini? Kau ingin sepertinya ? Tidak kuanggap anak lagi?”
“Dulu aku mmang mengerti. Aku tak tahu apa alasan kak Raga pergi dari rumah tapi, sekarang aku tahu apa alasannya. Kak Raga benar.” Teriakku marah.
“Keluar dari rumah ini bila Kau tidak mau Papa atur lagi!!!”,tangan papa meremas bantal sofa dan matanya menatapku tajam.
“Apa Papa tahu kalau apa yang Papa lakukan itu salah? Menyuap banyak sekali orang agar mereka melakukan apa yang Papa inginkan. “
“Cari dan ikut laki-laki itu. Jangan kembali kee rumah ini!”
Dadaku naik turun menahan amarah , tangis dan perasaan tersiksa yang membaur menjadi satu membentuk sebuah sensasi yang luar biasa menyakitkan. Kuseka air mata yang keluar dari kedua mataku, semampuku. Aku berdiri dari sofa dan langsung berlari kembali ke  kamarku untuk mengmbil barang-barang yang sekiranya bisa kubawa.
Kumasukkan beberapa potong kaos dan celana ke dalam tas ranselku. Tanganku menyentuh dinding tembok kamarku. Menghirup dalam-dalam aroma dingin kamar yang selama 21 tahun kutinggali. Ini saat-saat terakhirku berada dalam kamar ini, selanjutnya tidak akan pernah lagi. Aku sudah diusir, aku bukan lagi menjadi bagian dari keluarga ini. Keluarga yang sejak 21 tahun lalu hanya berjumlah tiga orang, kemudian tiga tahun yang lalu hanya menjadi dua orang. Sekarang, hanya tinggal papa seorang, tidak ada yang lain. Sejujurnya aku tidak ingin meninggalkan papa tapi, aku sendiri sudah tidak kuat merasakan tekanan yang begitu menyakitkan. Aku tidak mau menjadi penjahat. Aku sudah benar-benar muak.  Aku tidak bisa bertahan lama di sini. Jalan yang diambil papa berbeda dengan hati nuraniku. Rasanya tidak percaya dan aku tidak menyangka papa melakukan hal itu. Laki-laki yang kubanggakan membuatku merasa begitu malu. Terlebih karena dengan tega dan jelas ia mengajariku untuk menjadi sepertinya.kenapa harus seperti ini. Menganggap sebuah hal hina sebagai  hal yang wajar dan biasa. Jadi, apa salah kalau orang yang melakukan hal itu disebut sebagai orang hina? Apakah salah besar?
“Jangan bawa fasilitas yang kuberikan untukmu. “, papa sudah tidak membahasakan dirinya dengan sebutan “ Papa”  lagi padaku.
“Aku tidak membawa fasilitas apapun yang Papa berikan untukku.”, balasku.
“Jaga kesehatan Papa, jangan terlalu banyak pikiran karena hal itu akan membuat kesehatan Papa menurun.”, pesanku.
Papa diam tak bergeming, rahangnya mengeras. Tubuhnya masih bergetar senada dengan tubuhky yang bergetar menahan tangis yang lagi-lagi tumpah. Aku tersenyum tipis pada papa tetapi, tidak dibalasnya. Ia memalingkan wajahnya dariku seolah sudah tidak peduli lagi padaku. Semua yang sudah keluar dari mulut papa pantang untuk ia tarik kembali. Sekali ia mengatakan kalau aku bukan lagi anaknya maka selamanya akan seperti itu. Sekali papa mengusirku dari rumah maka selamanya pula aku tidak akan dapat masuk kembali ke rumah itu karena papa tidak akan mengizinkannya. Dan selama papa masih seperti sekarang, aku tidak akan pernah mengikuti semua yang ia suruhkan. Mungkin memang harus berakhir seperti ini. Hubungan darah yang tidak mungkin terputus akhirnya terputus meskipun menyisakan seutas tali samar yang tidak dapat terliat dengan mata telanjang. Aku bukan lagi Gael Renatta Rahardi tapi sekarang aku hanyalah sebagai Gael Renatta. Perempuan yang tunduk pada kemauannya sendiri. Perempuan yang lebih memilih pergi dari rumah karena tidak sejalan dengan apa yang diinginkan oleh orangtuanya. Perempuan yang mencoba untuk masuk dan berjalan di jalan yang benar meskipun begitu menyakitkan dan bisa membuat mati perlahan.
***
Untung aku masih memiliki kontak seorang teman kak Raga. Jika tidak, mana mungkin aku bisa berdiri berhadap-hadapan dengan seseorang yang sama sekali tidak berubah setelah tiga tahun tidak tahu kabarnya dan tidak bertemu dengannya.
“Maafkan Kakakmu ini.”, ucapnya lirih.
“Maafkan juga aku yang tidak bisa menjaga Papa.”, balasku dengan terisak.
Tangis masih menguasaiku dengan sepenuhnya. Pikiranku masih tertuju seutuhnya pada papa. Aku sama sekali tidak tega pada papa. Ia hidup sendiri tanpa siapapun, tanpa anak yang selalu ia bangga-banggakan akan menjadi penerusnya nanti. Penerus yang sengaja ia masukkan ke dalam rute perjalanan gelap dan tanpa cahaya terang.
“Sekarang aku mengerti kenapa waktu itu Kakak pergi dari rumah.”, ujarku pelan.
Kak Raga tersenyum. Ia membelai rambutku pelan kemudian memejamkan matanya sejenak.
“Hal ini memang menyakitkan Ta, mengetahui orangtua yang kita banggakan adalah seseorang yang sebenarnya tidak patut dicontoh.”, katanya pelan.
“Sampai kapanpun Papa akan seperti itu Kak.”, balasku. Kak Raga tersenyum, ia bangkit dari kursi kayu yang ada di ruang tamu rumah kontrakannya kemudian pergi meninggalkanku sendirian.
Kehidupan kakakku begitu sederhana. Berbeda denganku yang hidup dengan serba mewah. Menikmati uang yang didapatkan dengan cara yang salah. Member uang pelican agar semua yang diinginkan mudah terlaksana. Tapi, apakah papa pernah berpikir kalau uang yang ia gunakan untuk kehidupan sehari-hari adalah uang haram, uang yang didapatkan dengan cara yang tidak halal. Mengapa menjadi orang yang benar itu sangat sulit? Mengapa zaman sekarang ini menjadi orang yag bersih itu salah? Mengapa menjadi orang yang berjalan di jalan yang benar itu selau mendapat cacian, hinaan dan menjadi bahan tertawaan? Seolah-olah orang yang tidak hina itu merupakan benda mati dengan rupa yang begitu menggelikan sehingga pantas untuk dijadikan sebagai bahan tertawaan. Dunia memang begitu kejam. Dunia adalah opera yang dibuat sedemikian rupa. Penuh dengan jebakan dan berbagai bentuk hal fana yang dapat membuat terlena. Aku tidak bisa mengerti, aku tidak sanggup untuk memahami. Aku hanya bisa melakukan hal ini, hal yang kuanggap benar agar aku tidak terlena dan jatuh ke dalam lubang yang sama.
***
“Bangun Ta,.”, kak Raga mengguncang-guncang tubuhku dengan sedikit kasar.
  Mau tidak mau aku akhirnya aku membuka mataku. Memandang kearah kak Raga dengan penuh ketidakmengertian. Terlihat sekali dari mimic wajahnya kalau ia tengah gelisah, memikirkan suatu hal yang mengganjal.
“Ada apa Kak?”, tanyaku tidak mengerti.
“Cepat bangun, ganti pakaianmu dan iku Kakak.”, suruh kakakku.
“Memangnya ada apa Kak?”, tanyaku lagi dengan penasaran.
“Cepatlah!”, suruhnya dengan nada tinggi. “Nanti Kau akan tahu sebenarnya apa yang terjadi.”, lanjutnya sambil mendesah frustasi.
Tangan putihnya menyangga kepalanya yang terlihat begitu berat. Sesekali ia mengerang frustasi sambil menjambak rambutnya sendiri. Sebenarnya apa yang terjadi, apa yang membuatnya menjadi seperti itu. Bergegas aku menuju kamar mandi. Meninggalkannya yang masih duduk sambil menyangga kepalanya dengan tangan. Ada hal buruk yang terjadi, jika tidak mana mungkin kak Raga sampai seperti itu.
***
“Kenapa kita ke Kantor Polisi?”, tanyaku bingung.
“Hal buruk yng Kakak takutkan akhirnya terjadi.”, jawab kakakku menggantung.
“Papa?”, tanyaku dengan suara parau karena air mata yang sudah mulai turun dari pelupuk mataku.
“Polisi menangkap papa saat ia tengah bertransaksi dengan seorang jaksa yang sebenarnya hanya umpan saja. Papa sudah tidak bisa mengelak lagi. “, jawab kak Raga lirih.
Ia kembali menyangga kepalanya denga tangan. Dadanya naik turun mengikuti nafasnya yang tak beraturan. Sesekali ia mengerang, meredam rasa sakit yang teramat sangat. Aku bisa merasakan apa yang tengah dirasakan oleh kakak.
“Tunggu.” ,kak Raga menahanku yang hendak berlari  masuk ke dalam Kantor Polisi untuk mencari papa. Aku ingin tahu bagaimana keadaanya, bagaimana keadaan orang yang begitu aku sayangi meski orang itu telah mengecewakanku dengan tindakannya itu.”, jaga sikapnmu, kita masuk bersama.
Aku mengangguk, kuseka air mataku dengan tangan. Kak Raga merangkul pundakku, menuntunku yang sudah berjalan sempoyongan. Memikirkan bagaimana keadaan papa di dalam. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana papa sekarang. Tertekan, sedih, kecewa,menangis. Menangis, aku tidak kuasa melihat papa menangis.
“Keluarga Bapak Dani Rahardi?”, tanya seorang polisi.
“Iya, kami anak Bapak Dani Rahardi.”, jawab kakakku.
Polisi itu menyuruh kami untuk masuk. Aku dan kak Raga berjalan masuk ke dalam ruangan putih dengan buah meja panjang dan beberapa kursi. Kami berdua duduk dengan tubuh yang masih berguncang hebat. Rasanya masih sama seperti tadi, tidak percaya kalau orang yang sekarang tengah meringkuk di dalam penjara adalah orangtua kami.
“Atta, Raga.”, sayup-sayup kudengar suara papa memanggil nama kami bedua.
Sontak aku berdiri dan langsung menghambur ke arah papa. Kupeluk tubuh papa dan langsung menumpahkan tangisku yang tidak bisa kutahan. Kak Raga membuntutiku dari belakang. Ia mencium punggung tangan papa kemudian, turut memeluk papa. Kudengar denga jelas papa terisak. Papa turut menangis, papa turut merasakan sakit yang kami rasakan bahkan mungkin rasanya lebih sakit dari apa yang kami rasakan.
“Maafkan Papa.”, ucah papa lirih.
Aku hanya bisa menangis didalam pelukannya. Aku tidak bisa berkata apa-apa. Begitupun dengan kak Raga, tangisnya pecah. Rasa rindunya akan sosok seorang papa selama bertahun-tahun kini terbayarkan dengan cara yang sangat menyakitkan. Saat papa berada di dalam kondisi terburuk dan terpuruk. Kuangkat wajahku, kutatap wajah papa yang meneteskan titik demi titik air mata yang lama kelamaan menjadi semakin deras. Aku mencoba untuk tersenyum dengan bibir yang bergetar. Memang harus seperti ini, memang hal inilah yang seharusnya terjadi. Papa tidak akan pernah sadar dengan kesalahan yang ia lakukan bila ia belum menikmati buah terpahit yang harus ia telan.
Sepucuk amplop berwarna cokelat. Begitu mudahnya berpindah tangan dari tangan satu ke tangan yang lain. Semua bisa diatasi dan dilakukan dengan begitu mudah hanya dengan amplop yang berisi belati yang dapat menusuk diri sendiri.apa yang ditanam nantinya akak dipetik buahnya. Apa yang ditebar nantinya harus dipungut kembali.
Meringkuk di dalam jeruji besi adalah sebuah akhir yang harus ijalani papa. Sudah sangat lama papa menikmati hidupnya yang indah yang penuh dengan manipulasi. Rasanya sakit dan terluka melihat orang tua yang sangat disayangi mendapat hukuman seperti ini. Tapi, memang harus seperti ini. Satu per satu orang yang melakukan tindakan seperti yang papa lakukan harus masuk menemani papa di dalam Hotel Prodeo, menikmati getah karet yang rasanya begitu pahit di dalamnya. Saat esok kembali menyingsing, tahun berganti dan wajah-wajah lama berubah baru kebiasaan ini mungkin belum hilang tapi akan berubah menjadi lebih baik bila orang-orang yang bersalah itu satu per satu diadili. Merasakan takdir terburuk mereka. Merasakan bagaimana menjadi orang yang ditertawai oleh orang-orang yang sebelumnya mereka tertawai. Jika, keadilan tidak ditegakkan akan jadi apa Negara ini kelak nantinya. Dan akan jadi apa bangsanya ini. Hidup dengan amplop cokelat yang bertebaran dimana-mana. Mencari tuan selanjutnya, agar suatu persoalan bisa terselesaikannya hanya dengan sekali kedipan mata.
Aku memang bersedih karena papa. Tapi, papa harus mendapatkan apa yang seharusnya papa dapatkan. Jika tidak, selamanya akan terus seperti ini. Mendarah daging, membentuk buntalan daging baru yang kekal daan tidak akan berubah.
TAMAT.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar